“Aku tidak mau menjual sumur ini!” Roumah si yahudi pemilik sumur itu bersikukuh enggan menjual sumurnya. Utsman bin ‘Affan menarik nafas. Ia tahu bahwa hanya itulah satu-satunya sumur yang berair di Madinah pada saat kekeringan seperti ini. Roumah memang biadab. Ia menjual mahal sumurnya kepada setiap orang muslim. Bahkan kalau mau, dia bisa menolak seorang muslim membeli air darinya. Maka kaum muslimin yang tidak memiliki cukup uang bisa kehausan tanpa air yang cukup.
“Baiklah,” kata Utsman, “Kalau begitu aku beli setengahnya saja, yang setengah lagi tetap milikmu!”
“Berapa kau sanggup membeli setengah sumur ini?” Dengan angkuh Roumah menantang Utsman.
“Baiklah, aku jual!” Roumah akur, namun sifat tamaknya membuatnya menjilat ludah kembali.
“Bagaimana pendapatmu, manakah yang lebih berharga, sumur atau seratus ribu dinar?” Tanyanya penuh siasat.
“Sumur ini lebih berharga!” Jawab Utsman.
Tanpa malu-malu Roumah menaikkan harganya hingga mencapai sejuta dinar. Utsman tidak gentar. Dia membeli setengah dari sumur itu dengan kesepakatan bahwa sehari Utsman boleh memanfaatkannya dan sehari berikutnya Roumah boleh menjual airnya secara bergantian.
Utsman lalu mengumumkan kepada seluruh kaum muslimin di Madinah bahwa setengah bagian dari sumur itu adalah miliknya. Barangsiapa di antara mereka memerlukannya, maka mereka bebas mengambil airnya tanpa harus membayar apa pun. Maka berbondong-bondonglah kaum Muslimin mengambil air untuk keperluan mereka hari itu dan untuk keperluan esoknya.
Hingga keesokan harinya ketika Roumah si Yahudi tamak itu ingin menjual airnya, tak seorang pun datang membeli. Akhirnya ia kehabisan akal dan menawarkan air sumur jatahnya itu dengan harga murah.
“Siapa yang mau beli seember dengan harga satu dirham?” tawarnya.
Saat itu seorang sahabat bernama Nu’aiman berkata, “Satu dirham itu terlalu mahal!” Katanya sambil menumpahkan seember air. Kebetulan ia mempunyai beberapa ember yang penuh dengan air.
“Baiklah, setengah dirham!”
“Setengah dirham pun terlalu mahal juga!” Sergah Nu’aiman sambil menumpahkan air seember lagi.
“Habis, berapa kau berani beli, Nu’aiman?” Hardik Roumah.
“Saya berani beli dengan sebutir buah kurma!” Nu’aiman menjawab.
“Baiklah, sebutir buah kurma!” Roumah menyerah.
“Sebentar! Aku fikir-fikir dulu!” Sergah Nu’aiman lagi sambil menumpahkan seember air. “Demi Allah, sebutir kurma itu terlalu mahal!”
“Habis, berapa kau mau beli?” Roumah naik pitam.
“Aku tidak mau beli!” Jawab Nu’aiman tegas.
“Baiklah, beli saja dengan biji kurma untuk makanan ternakku!” Si Yahudi itu akhirnya putus asa. Dia kemudian mendatangi Utsman dan meminta Utsman membeli setengah lagi sumurnya.
“Tidak, aku tak perlu setengah sumur itu!” Utsman menolak.
Roumah yang serakah tidak kehabisan akal. Dia mendatangi Rasulullah saw. dan meluncurkan protesnya, “Untuk inikah Tuhanmu mengutusmu?”
Rasulullah saw.,menjawab: “Barangsiapa berbuat jahat terhadap kami, maka Allah akan menolong kami..., wahai Utsman, belilah sisa sumur miliknya!”
“Apakah ini perintah atau kehormatan bagiku wahai Rasulullah?”
“Kehormatan!”
“Baiklah, berapa kau mau jual setengah sumurmu itu, Roumah?”
“Dulu kau beli setengahnya dengan harga satu juta dinar!”
“Ya, tapi yang ini aku cuma mau beli dengan harga sepuluh!” tawar Utsman.
“Seratus, bagaimana?” Roumah bertahan.
“Tidak, sepuluh saja!” Utsman tetap kukuh.
“Baiklah, aku jual!” Roumah akhirnya mengalah.
Utsman kemudian mengeluarkan uang sepuluh dinar. Roumah terkejut, “Apa ini?”
“Kubilang aku mau membelinya dengan harga sepuluh, kan?” Bantah Utsman.
“Aku kira sepuluh ribu dinar!” Jawab Roumah putus asa.
“Itu dulu, kamu mau jual atau tidak?” Tanya Utsman tegas.
Akhirnya si Yahudi serakah itu menyerah. “Baiklah, aku jual!” Katanya lunglai.
Rasulullah saw. Kemudian bersabda: “Tidak akan memberi madharat kepada Utsman, apapun yang dilakukannya setelah ini!
Beginilah cara Utsman bernegosiasi.
Sumber:
Kitab Wafaa’ul Wafaa’, Bi Akhbaari Daar al-Mushthafaa
Karya: Nuruddin Ali bin Abdullah As-Samhudi (wafat 911 H.)
No comments:
Post a Comment